INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN DALAM PENGELOLAAN
KEUANGAN DAERAH
Disusun Oleh :
TASMIN
021280014
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2011
Daftar
Isi
Daftar Isi ………………………………………………………………………… 1
BAB I
Pendahuluan …………………………………………………………………… 2
A. Latar Belakang ………………………………………………………………. 2
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 2
BAB II
Pembahasan …………………………………………………………………… 3
A.
ABK, Sebuah harapan ke arah perbaikan ………………………………. 3
B. Sudahkah musrenbang menjadi sumber penyusunan ABK? ……….. 6
C. Hambatan-hambatan dalam proses penganggaran …………………… 7
D. Peran Bappeda
……………………………………………………………… 8
E. Peran DPRD
………………………………………………………………… 9
F.
Sistem Insentif dan Disinsentif …………………………………………… 11
BAB III
Kesimpulan dan saran ……………………………………………………….. 13
Daftar Pustaka …………………………………………………………………. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Setelah lebih dari enam tahun, otonomi daerah di Indonesia
masih menyisakan tantangan.
Otonomi daerah tidak hanya mentransfer kewenangan dan
sumber keuangan, tetapi juga mendorong terjadinya praktek-praktek
penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara di daerah. Namun, mulai terlihat
adanya inisiatif untuk mendorong ke arah pemerintahan yang baik, antara lain
upaya pemberantasan korupsi yang meningkat terutama dalam dua tahun terakhir
ini, yang diiringi liputan media yang luas.
Salah
satu pembenahan yang dilakukan pemerintah pusat untuk pelaksanaan otonomi
daerah adalah memperbaiki sistem keuangan negara. Pemerintah, misalnya, menerapkan
sistem penganggaran yang disebut sebagai Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) yang
dipercaya dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, termasuk pemerintah, DPRD
dan bahkan masyarakat.
B. Rumusan
Masalah
Sejak sistem ini diterapkan di berbagai sektor dan lembaga
pemerintahan di Indonesia tahun 2003, banyak sekali pengalaman yang telah diperoleh.
Salah satu pertanyaan yang menarik adalah sejauh mana penyusunan anggaran
berbasis kinerja tersebut diterapkan di setiap SKPD dan dapatkah mendorong terwujudnya tata
kelola pembangunan yang baik?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ABK, Sebuah harapan ke arah perbaikan
ABK adalah proses
penyusunan APBD yang diberlakukan dengan harapan dapat mendorong proses tata
kelola pemerintahan yang lebih baik. Penerapannya diharapkan akan membuat
proses pembangunan menjadi lebih efisien dan partisipatif, karena melibatkan
pengambil kebijakan, pelaksana kegiatan, bahkan dalam tahap tertentu juga
melibatkan warga masyarakat sebagai penerima manfaat dari kegiatan pelayanan
publik.
Melalui ABK keterkaitan
antara nilai uang dan hasil dapat diidentifikasi, sehingga program dapat
dijalankan secara efektif. Dengan demikian, jika ada perbedaan antara rencana
dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-sumber input dan bagaimana
keterkaitannya dengan output dan outcome untuk menentukan efektivitas dan
efisiensi pelaksanaan program. Secara ringkas, ada tiga tahap penting dalam
penyusunan APBD, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar. Pertama, tahap
perencanaan, dengan Bappeda sebagai koordinator. Kedua, tahap penganggaran,
yang dikoordinasikan oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ketiga, tahap
legislasi/pengesahan, dikoordinasikan oleh TAPD dengan Tim Anggaran DPRD. Penyusunan APBD
dengan pendekatan kinerja (ABK) di tingkat kabupaten dimulai dari penyerapan aspirasi
masyarakat melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), yang
berlangsung dari tingkat desa sampai kabupaten. Hasil Musrenbang menjadi salah
satu bahan masukan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merancang
usulan kegiatan tahun berikutnya, dengan dibantu oleh tim asistensi dari Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah (Bappeda). Usulan kegiatan yang disetujui dimuat dalam dokumen Rencana
Anggaran Satuan Kerja (RASK) dengan pagu anggaran yang ditetapkan oleh tim
asistensi Bappeda. Dokumen RASK kemudian dibahas oleh Tim Asistensi Eksekutif,
yang terdiri atas Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) dan Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah. Hasilnya dituangkan dalam dokumen Rancangan APBD
(RAPBD). RAPBD dibahas oleh DPRD untuk disetujui serta dievaluasi oleh pemerintah
Provinsi. Setelah pemerintah provinsi memberikan
persetujuannya, RAPBD kemudian disahkan oleh DPRD menjadi APBD. Penjabarannya kemudian disusun dalam dokumen yang disebut Dokumen
Anggaran Satuan Kerja (DASK) untuk APBD tahun berjalan.
= Januari-April = |
= September-Desember =
|
= Mei-Agustus =
|
Pengesahan |
Penganggaran
|
Perencanaan
|
SKPD merancang RKA dan dikonsultasikan
dengan Bappeda
|
Bupati (beserta jajaran SKPD) menyusun
Ranperda APBD, dan dibahas bersama DPRD
|
TAPD menyusun PPA dan dikonsultasikan serta
dibahas bersama DPRD
|
Ket
:
RKA = Rencana
Kerja dan Anggaran
RPA = Prioritas
dan Plafon Anggaran
TAPD = Tim
anggaran Pemerintah Daerah
Gambar skema proses penyusunan APBD selama satu tahun anggaran
Proses penyusunan APBD
saat ini lebih sering dikenal dengan istilah Anggaran Berbasis Kinerja (ABK).
Dasar kebijakannya adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang
Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta
Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata
Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Kepmen tersebut direvisi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Di tingkat desa,
kegiatannya disebut Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Di tingkat kecamatan,
kegiatannya disebut Musyawarah Pembangunan Kecamatan (Musbangcam).
Proses penganggaran
berbasis kinerja sebenarnya
tidak jauh berbeda dengan Permendagri 9/1982 tentang Pedoman
Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D).Di dalam
P5D, Bappeda berperan dalam menyusun Rencana Pembangunan Tahunan Daerah
(REPETADA) yang pada akhirnya menjadi APBD, sedangkan dalam sistem ABK
perencanaan pembangunan dibuat oleh setiap SKPD dengan diasistensi oleh
Bappeda. Selain itu, pada P5D perencanaan pembangunan masih belum terintegrasi
secara menyeluruh dengan proses penganggaran.
Pemerintah kabupaten -
dalam hal ini Bappeda, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda), dan setiap SKPD menganggap ABK
adalah sesuatu yang akan berdampak baik khususnya di dalam mengarahkan
perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek yang lebih sinergis dan
terintegrasi dengan penganggarannya.
Melalui proses ini, SKPD diharuskan membuat suatu program yang terukur baik
input, output maupun outcomenya jika ingin mendapatkan kucuran dana untuk
program-program yang diajukan. Di samping itu, dana-dana yang dikeluarkan
melalui APBD tiap tahunnya bisa digunakan secara efisien, efektif dan tepat
sasaran. Dengan penganggaran berbasis kinerja dan proses yang lebih partisipatif
diharapkan dapat memperbaiki tata kelola pemerintahan, meningkatkan efektivitas
pembangunan dan memperbaiki tingkat kehidupan masyarakat.
B. Sudahkah musrenbang menjadi
sumber penyusunan ABK?
Proses penyerapan
aspirasi melalui Musrenbang tidak dilakukan oleh setiap instansi pemerintah
secara terpisah, tetapi melalui perwakilan dari setiap SKPD yang hadir dalam
forum musyawarah. Di satu sisi, proses penyerapan tersebut lebih praktis dan
berpeluang menangkap program atau isu yang sifatnya lintas SKPD. Di sisi lain,
aspirasi yang disampaikan menjadi kurang fokus pada suatu sektor tertentu,
sehingga mempersulit masing-masing SKPD untuk menterjemahkan aspirasi
masyarakat, sehingga usulan masyarakat yang sering terungkap lebih banyak
berupa permintaan atas pembangunan prasarana fisik alih-alih pengelolaan hutan
secara lestari. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana
memastikan bahwa aspirasi yang tertampung tidak hanya bersifat jangka pendek,
tetapi juga jangka panjang.
Penggalian aspirasi
melalui Musrenbang seringkali belum dibarengi dengan data mengenai kondisi terkini yang dapat
diandalkan. Padahal ketiadaan data yang terpercaya dan lengkap data yang
lengkap dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk melakukan pengukuran
kinerja.
Walaupun bukan
satu-satunya sumber acuan (karena masih
ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, RPJMD dan Rencana strategis,
Restra), seharusnya Musrenbang menjadi bahan masukan dalam penyusunan Rencana
Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang selanjutnya dipedomani dalam penyusunan
RAPBD. Namun dalam kenyataannya, hasil Musrenbang belum sepenuhnya menjadi
acuan penyusunan program dan anggaran dalam beberapa sektor, dan aspirasi yang terkumpul hanya
dituangkan dalam sebuah laporan yang disimpan untuk acuan di waktu yang akan
datang. Hal ini karena terbatasnya waktu dan pengetahuan untuk memahami aturan
ABK dan mengolah aspirasi masyarakat yang sifatnya cenderung umum ketimbang
sektoral.
C. Hambatan-hambatan dalam
proses penganggaran
Walaupun penyusunan ABK
pada prinsipnya sederhana, pada tataran teknis tidak banyak staf di kabupaten
yang memahami secara mendalam proses dan mekanisme pelaksanaannya. Hal ini antara
lain disebabkan banyaknya perubahan peraturan yang terkait dengan penerapan ABK dalam lima tahun
terakhir, serta kesulitan untuk memahami peraturan pelaksanaan tentang ABK yang
berlaku saat ini. Beberapa pemerintah daerah mengakui mengalami kesulitan
memahami peraturan tentang ABK. Kesulitan yang mereka alami semakin berat
ketika pemerintah pusat mengganti suatu peraturan tentang ABK pada saat mereka
tengah berusaha memahami aturan tersebut. Hal ini menjadi indikasi bahwa
seringkali aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak berlandaskan kepada masukan
dari pemerintah daerah.
Salah satu kunci
penyusunan ABK adalah penentuan ukuran kinerja. ABK mensyaratkan adanya ukuran kinerja yang jelas dan dapat
diverifikasi, baik terhadap outcome, output maupun kewajaran dana yang
dikeluarkan dengan output yang dicapai. Ukuran yang jelas akan memudahkan
pemerintah, DPRD dan masyarakat untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan
proses pembangunan di daerah.
Kesulitan lainnya adalah
ketika mengaitkan antara output dengan biaya yang dikeluarkan dan standar pelayanan
yang dipakai. Ada pandangan di kalangan pemerintah daerah bahwa misalnya kehutanan, hanya merupakan urusan
pilihan, maka tidak diperlukan Standar Pelayanan Minimum (SPM) seperti halnya
urusan wajib. Pada dasarnya urusan pilihan terkait erat dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengukuran kinerja akan lebih mudah dilakukan jika standar pelayanannya
tersedia. Dengan demikian, SPM untuk urusan kehutanan perlu juga disusun.
D. Peran Bappeda
Bappeda merupakan salah
satu instansi kunci yang terlibat dalam seluruh proses penyusunan APBD seperti
yang ditunjukkan dalam Gambar 1. Proses asistensi yang dilakukan Bappeda dalam
tahapan perencanaan yang baik sangatlah penting. Dengan demikian, Bappeda dituntut
memiliki sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan berwawasan luas. Seorang
perencana yang baik di Bappeda sudah selayaknya memahami hampir seluruh sektor kegiatan
di daerahnya.
Sebagai salah satu
instansi anggota TAPD, Bappeda mengkoordinasikan usulan program dari seluruh
SKPD serta menyusun prioritas dan plafon anggaran. Dalam tahap ini, kemampuan
staf Bappeda diuji untuk dapat memilih program yang paling penting untuk
dilaksanakan dalam suatu tahun anggaran dengan mempertimbangkan prioritas
pembangunan, rencana strategis dan kelanjutan dari program dalam tahun anggaran
sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan masih
adanya masalah klasik berupa lemahnya koordinasi antar instansi, yang
menjadi salah satu faktor penyebab penyusunan anggaran tidak dapat diselesaikan
sesuai prosedur dan tepat waktu.
Yang tidak kalah
pentingnya, Bappeda adalah organisasi yang melaksanakan tugas monitoring dan evaluasi (monev) atas
kinerja setiap satuan kerja. Monitoring dilakukan melalui pelaporan realisasi
fisik dan keuangan kegiatan serta peninjauan lapangan. Pada pelaksanaannya,
staf Bappeda mengaku sering menemui hambatan berupa terbatasnya SDM yang ada di
Bappeda baik kualitas dan kuantitas untuk mengemban tugas monev, tidak jelasnya
pembagian tugas pokok dan fungsi antara Bappeda dan bagian Administrasi
Pembangunan Sekretaris Daerah, dan terlambatnya laporan realisasi fisik SKPD.
Kendala yang dihadapi
oleh Bappeda dalam melakukan monev menjadi salah satu faktor meluasnya fungsi
pengawasan dari DPRD, yang seharusnya hanya melaksanakan pengawasan politis
namun sering kali melaksanakan hal-hal yang bersifat teknis dalam monev.
Fenomena seperti ini dapat saja menjadi kontraproduktif dalam penerapan sistem
anggaran berbasis kinerja.
E. Peran DPRD
Secara struktural DPRD
merupakan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kinerja
pemerintah kabupaten. Dalam kaitannya dengan tugas tersebut, DPRD Kabupaten
Luwu Utara melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan pemerintah
kabupaten secara keseluruhan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai akhir
kegiatan. Selama proses perencanaan, DPRD melakukan reses dan menyebar
anggotanya untuk hadir dalam musyawarah pembangunan di setiap kecamatan dan
hasilnya dijadikan dasar untuk membahas RAPBD. Setelah tahun anggaran berakhir,
DPRD kembali mengadakan reses dan mengirim anggotanya untuk memantau hasil
kegiatan. Hasil pemantauan tersebut dijadikan dasar untuk membahas hasil kerja
pemerintah dan sekaligus menghitung anggaran sisa.
Pencapaian anggaran
yang berpihak kepada masyarakat sangat memerlukan peran aktif DPRD. Di samping
perannya dalam menampung dan menyampaikan aspirasi masyarakat yang mereka
wakili, DPRD terlibat dalam pembahasan umum Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang disusun oleh pemerintah
kabupaten. DPRD memiliki kekuatan untuk mempengaruhi rancangan keduanya.
Terkait dengan KUA, anggota DPRD ikut membahas target pencapaian kinerja,
proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah serta sumber dan penggunaan
pembiayaan. Sementara untuk PPAS, hal yang dibahas meliputi penentuan skala
prioritas untuk urusan wajib dan pilihan, penentuan urutan program untuk
masing-masing urusan dan plafon anggaran sementara untuk setiap program.
Selain itu, DPRD
berperan aktif dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang
APBD dan sangat menentukan dalam menyetujui usulan anggaran baru dari
pemerintah daerah setiap tahunnya. Sekalipun Permendagri 13/2006 memberi
peluang pemerintah daerah untuk menetapkan rancangan peraturan bupati tentang
APBD, jika DPRD tidak menyetujuinya, nilai anggaran maksimalnya adalah
sejumlah tahun anggaran sebelumnya.
Selain menjadi salah satu bentuk sanksi bagi pemerintah daerah, mekanisme
tersebut memberi peluang bagi anggota DPRD untuk memainkan perannya dalam
mendorong pelaksanaan anggaran berbasis kinerja.
Sebagian anggota DPRD
melihat ABK mempermudah mereka untuk menilai apakah rencana kegiatan dengan
anggaran yang diusulkan pemerintah sudah baik atau perlu direvisi. Namun,
sebagian anggota juga mengeluhkan perubahan kebijakan yang begitu cepat yang
berdampak pada aturan-aturan dan mekanisme yang sifatnya teknis yang perlu
waktu untuk mempelajarinya
Para anggota DPRD juga
menghadapi dilema ketika mereka harus menilai kegiatan yang dianggap tidak
memenuhi kinerja yang telah ditetapkan, terutama karena tidak adanya SPM untuk
urusan pilihan. Di satu sisi, kegiatan tersebut dapat dihentikan karena
dipandang tidak mencapai target, tetapi di sisi lain, tambahan pendanaan
mungkin diperlukan agar kegiatan tersebut mencapai tujuannya. Dengan demikian,
obyektivitas (wawasan dan pengetahuan anggota dewan) sangatlah diperlukan untuk
memutuskan kelayakan suatu usulan kegiatan sebelum kegiatan tersebut
dilaksanakan.
F. Sistem Insentif dan Disinsentif
Sampai saat ini, belum
ada kebijakan yang mengatur mekanisme insentif dan disinsentif secara finansial
baik dari pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten, yang dapat mendorong
akuntabilitas pelaksanaan program SKPD di tingkat kabupaten. Tetapi, penerapan
ABK dengan sendirinya dapat menjadi insentif bagi pemerintah untuk mendorong
pembangunan daerah dan menciptakan skema reward
and punishment.
Satu hal positif dari
ABK adalah pemerintah lebih berhati-hati dalam membuat program yang disertai dengan anggarannya. Tuntutan
akuntabilitas kinerja dalam penggunaan anggaran untuk suatu kegiatan membuat SKPD menggunakan anggaran
sesuai dengan pos-pos belanja yang telah dirancang dan dibahas sebelumnya yang
tertuang dalam APBD. Apabila diterapkan secara konsisten, ABK dapat membawa ke
arah pemerintahan yang lebih bertanggung gugat, yang diharapkan mampu
menunjukkan kinerja (yang baik).
Di sisi lain,
pertanggungjawaban pemerintah berupa kinerja kepada masyarakat (yang diwakili
DPRD) serta adanya upaya pemantauan yang ketat atas sumberdaya negara dapat
menciptakan iklim pembangunan yang kondusif. Penerapan ABK dapat mendorong
proses pembangunan ke arah yang lebih bertanggung jawab, terutama di wilayah
yang masih sangat memerlukan peran
pemerintah yang besar dalam mendorong perekonomiannya.
Aspirasi yang
dikumpulkan melalui Musrenbang pada dasarnya merupakan pelengkap dari aspirasi
masyarakat yang disalurkan melalui jalur perwakilan. Wakil rakyat di DPRD
secara berkala terjun ke masyarakat untuk mendapatkan masukan mengenai program
yang diperlukan oleh masyarakat. Sekalipun demikian, ada kecenderungan anggota
DPRD lebih mementingkan program untuk wilayah dimana dia dipilih menjadi
wakilnya.
Satu hal yang seharusnya
juga mendapat perhatian adalah adanya kecenderungan para perencana untuk
‘bermain aman’, dengan merencanakan kegiatan yang lebih mungkin dicapai,
sehingga tidak akan menyulitkan proses pertanggungjawabannya. Hal seperti ini
bisa sangat tidak kondusif karena akan menghambat inovasi dan pertumbuhan yang
diperlukan untuk mendorong pembangunan daerah.
BAB
III
Kesimpulan dan Saran
Penerapan
ABK memberikan manfaat kepada sebagian pihak yang berkepentingan dalam
pengambilan kebijakan terkait pembangunan
ekonomi. Pertama, proses ABK didahului oleh perencanaan
yang dibuat melalui Musrenbang, yang dipercaya lebih partisipatif dari model
penganggaran sebelumnya. Hal ini berpotensi menciptakan rencana program
pembangunan prioritas yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Yang perlu ditindaklanjuti
adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses, tidak
hanya dalam proses Musrenbang saja.
Kedua,
ABK mempermudah DPRD untuk menilai kinerja pemerintah dan sebaliknya
mempermudah pemerintah menyampaikan perkembangan pembangunan yang
dilaksanakannya. Dasar dari ABK sebenarnya adalah setiap pengeluaran satu
rupiah harus bisa dinilai dengan besaran hasil yang dapat dicapai. Ini
tentunya dilihat dari indikator output dan outcome yang tergambar secara jelas.
Ketiga,
ABK mempunyai potensi untuk menjadi sistem insentif/disinsentif bagi
pelaksanaan program pemerintah. ABK mempunyai karakteristik dapat
memperbandingkan antara penggunaan anggaran dengan pengukuran kinerja, sehingga
pengambil kebijakan dapat menyusun struktur insentif dan disinsentif dengan
mendasarkan pada kinerja yang dicapai dengan sejumlah anggaran tertentu.
Walaupun
demikian, penerapan ABK menghadapi tantangan antara lain terkait data,
sumberdaya manusia dan mekanisme. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan baik oleh pemerintah kabupaten, propinsi dan
pemerintah pusat maupun DPRD. Bagi pemerintah kabupaten, ada tiga hal yang
perlu diperhatikan. Pertama, proses perencanaan kegiatan perlu ditunjang oleh
ketersediaan data sekunder yang lengkap dan terbarukan. Kedua, perlu
mempersiapkan sumberdaya manusia yang handal untuk merencanakan, menganggarkan
dan mengukur kinerja suatu program atau kegiatan serta dapat membuat SPM pada
setiap SKPD. Implikasinya adalah perlunya peningkatan kapasitas sumberdaya
manusia di pemerintah daerah. Ketiga, pelaksanaannya mesti didukung oleh ketaatan
pada tata waktu, terutama terkait dengan aturan bahwa proses ini dimulai dari
Musrenbang di tingkat desa sampai kabupaten.
Bagi
pemerintah propinsi dan pemerintah pusat, ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menunjang keberhasilan ABK. Pertama, mempercepat proses review RAPBD
kabupaten sebelum disahkan oleh DPRD. Banyak keluhan yang disampaikan oleh
pihak di tingkat kabupaten bahwa proses ini cukup menyita waktu. Kedua, untuk
memperlancar proses pelaksanaan program, diperlukan ketepatan waktu dalam
transfer dana perimbangan yang menjadi bagian daerah. Ketiga, pemerintah
propinsi dan pusat perlu memberikan bimbingan dan peningkatan kapasitas kepada
aparat di kabupaten untuk perencanaan dan penganggaran. Keempat, pemerintah
pusat seyogyanya mempersingkat proses penyusunan ABK dan menyempurnakan aturan
agar lebih mendorong peran Tim Asistensi Bappeda dan Tim Asistensi Eksekutif.
Daftar
Pustaka
Indra
Bastian, Ph.d., sistem perencanaan dan
penganggaran pemerintah daerah di Indonesia. Salemba Empat. Jakarta. 2009.
KOMEN YA BRO..!!!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar